Bullying adalah perilaku yang harus dihindari karena dapat menyebabkan dampak serius bagi korbannya. Gangguan pada kesehatan mental, rasa takut, cemas, bahkan hingga trauma mendalam adalah konsekuensi dari tindakan bullying. Fenomena ini tersebar luas di berbagai kalangan, termasuk di lingkungan kerja dan institusi pendidikan. Psikolog Andrew Mellor, melalui laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menjelaskan bahwa bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh perilaku orang lain dan seringkali tanpa ada yang dapat mencegahnya. Bentuk bullying bisa beragam, mulai dari fisik, verbal, sosial, hingga media sosial.
Di Indonesia, terdapat peraturan yang mengatur sanksi hukuman bagi pelaku bullying. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 melarang perundungan terhadap anak-anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan atau denda maksimal Rp72 juta. Pasal 170 KUHP dan Pasal 262 UU No. 1 Tahun 2023 mengatur hukuman bagi pelaku bullying dengan pengeroyokan, mulai dari penjara 5 tahun 6 bulan hingga penjara 12 tahun.
Selain itu, Pasal 310 hukum menindak pelaku bullying yang menyebabkan pencemaran nama baik korban dengan sanksi penjara maksimal 1 tahun 4 bulan. Dalam Pasal 311 KUHP atau Pasal 434 UU No. 1 Tahun 2023, pelaku yang menyebarkan fitnah mengenai korban dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Aturan hukum lainnya, seperti Pasal 315, 345, 351, 352, serta 45 UU No. 1 Tahun 2024, juga mengatur hukuman yang akan dikenakan bagi para pelaku bullying. Anak-anak yang terlibat dalam bullying akan diproses melalui UU No. 11 Tahun 2012 yang menekankan pendekatan keadilan restoratif. Hukuman penjara hanya diberikan jika anak tersebut dianggap membahayakan masyarakat sekitar. Dengan berbagai aturan ini, diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku bullying dan mencegah terjadinya tindakan bullying di masyarakat.
