Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk Alwin Akbar kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (14/4/2025). Agenda sidang ini melibatkan saksi ahli, antara lain Tri Hayati, seorang dosen Hukum Pertambangan dan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, serta Gatot Supiartono, seorang dosen di institut Bisnis dan Informatika Kesatuan yang merupakan ahli bidang Audit Keuangan Negara.
Dalam penjelasannya, Gatot Supiartono menyoroti perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus ini. Menurutnya, terdapat kekurangan dalam metode perhitungan, terutama terkait dengan sewa smelter dan pembelian bijih timah. Selain itu, ia menekankan pentingnya pertimbangan komponen lain selain harga pokok penjualan (HPP) dalam menghitung kerugian.
Di sisi lain, ahli lainnya, Tri Hayati, menjelaskan bahwa dalam hukum pertambangan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bertanggung jawab penuh atas kegiatan penambangan. PT Timah, sebagai BUMN, diminta negara untuk menertibkan tambang ilegal melalui program kemitraan. Ia juga menekankan bahwa kegiatan penambangan melalui Surat Perintah Kerja (SPK) seharusnya dianggap legal.
Terkait dakwaan terhadap Alwin Akbar, Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk periode 2017-2020, dia didakwa telah mendukung kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk yang dilakukan oleh pihak lain. Dakwaan tersebut juga melibatkan pihak lain seperti Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020 Supianto dan Direktur Jendral Minerba tahun 2015-2020 Bambang Gatot Ariyono.