loading…
Tentara Interfet menangkap seorang yang dicurigai anggota Milisi di Liquisa, Timtim. Foto/istimewa
Tidak hanya bagi penduduk setempat yang harus meninggalkan tanah kelahirannya di Bumi Lorosae. Namun juga para prajurit TNI-Polri yang pernah menjalankan tugas di daerah tersebut. Khususnya bagi keluarga mereka yang gugur saat awal masuknya Timtim menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo dalam bukunya berjudul “Mengantar Provinsi Timor Timur Merdeka Menjadi Timor Leste” menceritakan bagaimana suasana mencekam di Timtim menjelang dan sesudah jajak pendapat atau referendum.
Mantan Wakil Gubernur (Wagub) Timtim ini menjadi saksi sejarah peristiwa yang terjadi di daerah tersebut. Aksi penculikan, perusakan, penembakan hingga pembunuhan antara kedua kubu yang saling berseberangan yakni, kubu pro integrasi Indonesia dan pro kemerdekaan yang dukung Falintil hampir setiap hari mewarnai kehidupan di Timtim.
Ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri memberikan jaminan keamanan ditambah kehadiran United Nations Assessment Mission on East Timor (UNAMET) yang cenderung tidak netral dan berpihak pada kubu pro kemerdekaan, membuat situasi semakin tidak kondusif.
Situasi politik nasional di Indonesia yang sedang euforia terhadap Reformasi, membuat Presiden BJ Habibie saat itu menganggap pemberian opsi referendum bagi rakyat Timtim merupakan langkah yang tepat.
Saat menghadiri acara Munas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada 11 Februari 1999, Presiden BJ Habibie menegaskan akan memberikan kemerdekaan Timor Timur mulai 1 Januari 2000 agar kelak tidak lagi menjadi beban bagi Indonesia.
Anggota Aitarak milisi pro Indonesia melakukan patroli di Timtim. Foto/istimewa