5.1 C
New York

Imunisasi Tidak Merusak Sel dan DNA – Sehat Negeriku

Published:

Jakarta, 2 Juli 2024

Sebuah video menyampaikan informasi keliru tentang bahaya imunisasi bagi anak-anak beredar di media sosial baru-baru ini. Narasi dalam video tersebut menyebutkan, imunisasi dapat merusak sel dan DNA, sehingga menyebabkan penyakit autoimun, meningitis, dan penyakit lainnya.

Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI dr. Prima Yosephine, M.K.M. menegaskan, narasi dalam video tersebut sangat keliru dan menyesatkan. Ia mengimbau masyarakat untuk mencari informasi yang valid dari sumber terpercaya, seperti situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

“Narasi ini sangatlah salah. Imunisasi tidak dapat merusak sel dan DNA. Kami menyarankan masyarakat untuk mencari informasi yang benar dari website Kemenkes, WHO, CDC,” tegas Prima di Jakarta, ditulis Selasa (2/7).

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), M.Trop.Paed. menambahkan, narasi tentang kerusakan sel dan DNA akibat imunisasi sudah lama beredar. Hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang mengaitkan imunisasi dengan kerusakan sel dan DNA, penyakit autoimun, maupun meningitis.

“Isu ini sudah ada sejak tahun 2002, dan sampai saat ini belum ada bukti yang mengaitkan kerusakan DNA, autoimun dan meningitis dengan vaksinasi yang diberikan,” tambah Prof. Hindra.

Faktanya, imunisasi adalah upaya pemberian vaksin untuk melindungi seseorang dari penyakit tertentu dan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit menular pada masa mendatang. Imunisasi tidak hanya melindungi individu dari serangan penyakit serius, tetapi juga melindungi masyarakat dengan membantu membangun kekebalan komunitas dan meminimalkan penyebaran penyakit.

Kemenkes RI telah menekankan bahwa imunisasi tepat waktu pada masa anak-anak sangat penting. Hal ini karena imunisasi membantu memberikan kekebalan sebelum anak-anak terpapar penyakit yang berpotensi mengancam jiwa. Selain itu, vaksin yang diberikan telah teruji aman dan efektif untuk anak-anak pada usia yang direkomendasikan.

Efek samping imunisasi yang umum terjadi adalah nyeri, demam, atau sakit kepala. Efek samping ini dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Akan tetapi perlu diingat bahwa KIPI tidak selalu terjadi dan manfaat imunisasi jauh lebih besar dibandingkan risiko efek sampingnya.

Imunisasi juga membantu mengurangi kecemasan orang tua terhadap penyakit berbahaya dan menular pada anak-anak. Dengan imunisasi, orang tua dapat merasa lebih yakin bahwa anak-anak mereka akan tumbuh kembang dengan sehat dan aman. Beberapa penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi antara lain hepatitis B, tuberkulosis (TB), tetanus, difteri, pertusis, polio, meningitis, pneumonia, campak, dan rubella.

Selamatkan Jutaan Nyawa

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), imunisasi adalah upaya untuk mengurangi risiko tertular penyakit dengan memanfaatkan sistem kekebalan tubuh alami untuk membangun perlindungan. Saat seseorang menerima vaksin, sistem kekebalan tubuh akan merespons dan membentuk kekebalan terhadap penyakit.

Sebuah penelitian yang berjudul “Contribution of vaccination to improved survival and health: modelling 50 years of the Expanded Programme on Immunization” yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet pada 2 Mei 2024 mengungkapkan bahwa upaya imunisasi global telah menyelamatkan sekitar 154 juta nyawa. Angka itu setara dengan 6 nyawa setiap menit setiap tahunnya selama 50 tahun terakhir.

Sebagian besar nyawa yang terselamatkan, yaitu 101 juta, adalah nyawa bayi. Penelitian yang dipimpin oleh WHO ini menunjukkan bahwa imunisasi merupakan salah satu intervensi kesehatan terpenting untuk memastikan anak-anak dapat menjalani hidup sehat hingga dewasa.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa vaksinasi campak memiliki dampak paling signifikan dalam mengurangi angka kematian bayi. Vaksin ini telah menyelamatkan 60% nyawa bayi dan kemungkinan besar akan tetap menjadi kontributor utama dalam mencegah kematian di masa depan.

Selama 50 tahun terakhir, pemberian vaksin terhadap 14 penyakit telah dilakukan, yaitu difteri, haemophilus influenzae tipe B, hepatitis B, ensefalitis Jepang, campak, meningitis A, pertusis, penyakit pneumokokus invasif, polio, rotavirus, rubella, tetanus, tuberkulosis, dan demam kuning. Upaya ini berkontribusi langsung terhadap penurunan kematian bayi sebesar 40% secara global, dan lebih dari 50% di Afrika.

Program imunisasi telah menjadi landasan layanan kesehatan primer di masyarakat dan negara karena jangkauan dan cakupannya yang luas. Program imunisasi tidak hanya memberikan kesempatan untuk vaksinasi, tetapi juga memungkinkan tersedianya layanan penyelamatan jiwa lainnya, termasuk dukungan nutrisi, pencegahan tetanus pada ibu, pemeriksaan penyakit, dan perlindungan terhadap keluarga dari penyakit seperti malaria.

Melindungi dari Penyakit Berbahaya

Di Indonesia, imunisasi merupakan bagian dari program kesehatan masyarakat. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 44 UU Kesehatan menyatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan imunisasi bagi bayi dan anak.

Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi untuk memperoleh perlindungan dari berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sayangnya, narasi keliru yang menyebutkan bahwa UU Kesehatan telah mencabut informed consent untuk imunisasi beredar di media sosial. Narasi keliru itu menyebutkan bahwa imunisasi dianggap sebagai bentuk pemaksaan kepada masyarakat.

Menanggapi narasi tersebut, Direktur Pengelolaan Imunisasi dr. Prima Yosephine, M.K.M. menjelaskan, imunisasi adalah program kesehatan masyarakat yang bertujuan melindungi seluruh warga negara dari penyakit berbahaya.

“Imunisasi adalah hak setiap anak. Dengan demikian, imunisasi merupakan kewajiban bagi negara, keluarga dan masyarakat untuk memberikan hak anak tersebut,” jelasnya.

“Pemberian imunisasi sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat tidak memerlukan informed consent perseorangan. Namun, sebelum pemberian imunisasi, orangtua atau sasaran imunisasi diberikan informasi yang jelas terkait imunisasi yang akan didapatkan.”

WHO merekomendasikan imunisasi untuk semua orang, mulai dari bayi hingga lansia. “Imunisasi adalah komponen kunci dari layanan kesehatan primer dan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat disangkal (indisputable human right),” sambung Prima.

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), M.Trop.Paed. menambahkan, program imunisasi nasional tidak memerlukan informed consent individual karena telah disosialisasikan secara luas dan bertujuan melindungi anak-anak penerus bangsa agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkan kematian, kecacatan, dan menimbulkan wabah.

“UU Kesehatan kita mewajibkan negara untuk melindungi masyarakatnya. Jadi, imunisasi bukan pemaksaan, melainkan kebutuhan bangsa agar generasi penerus kita dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,” jelas Prof. Hindra.

“Tidak ada unsur pemaksaan karena tidak ada sanksinya.”

Menurut Prof. Hindra, narasi yang menganggap imunisasi sebagai bentuk pemaksaan menunjukkan ketidakpahaman terhadap konsep pencegahan penyakit. Padahal, imunisasi memberikan perlindungan, seperti halnya pemberian vaksin COVID-19 yang bertujuan untuk mencapai kekebalan kelompok.

“Sudah ada contoh nyata manfaat imunisasi saat pandemi COVID-19, tentunya itu tidak terbantahkan,” pungkas Prof. Hindra.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.

Source link

Related articles

Recent articles