Romli Atmasasmita, seorang pakar hukum Indonesia, menyatakan bahwa perkembangan kejahatan siber semakin meningkat dengan cepat pada abad ke-21. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hubungan perdagangan antar negara yang didukung oleh perkembangan teknologi modern. Meskipun perkembangan ini memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional, namun juga diikuti dengan peningkatan kejahatan siber baik dalam skala lokal maupun transnasional.
Pada tahun 2001, Masyarakat Ekonomi Eropa (OECD) mengadakan konferensi tentang kejahatan siber dan memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan kerja sama dalam mencegah dan menindak kejahatan tersebut. Di Indonesia sendiri, kejahatan siber belum diatur secara khusus dalam UU pidana, melainkan diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki sanksi pidana administratif.
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa diperlukan UU khusus tentang tindak pidana siber yang dapat menindak tegas pelaku kejahatan siber yang merugikan kepentingan nasional. Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya keamanan teknologi siber dalam proses Pemilu 2029 agar tidak terjadi kecurangan.
Untuk menghadapi perkembangan kejahatan siber, Romli Atmasasmita menyarankan 4 strategi yang harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Pertama, strategi preemtif oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kedua, strategi preventif detainment oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Ketiga, strategi represif yang menegakkan hukum secara khusus terhadap pelaku kejahatan siber. Dan keempat, strategi diplomasi penegakan hukum dengan negara lain untuk mewujudkan kerja sama internasional dalam mengatasi kejahatan siber.