Dari kebutuhan navigasi kapal dan kepentingan militer, teknologi GPS berkembang menjadi peralatan standar telepon genggam.
Anda memesan makanan melalui aplikasi ojek online, yang belum pernah datang ke rumah Anda, tetapi pesanan itu ternyata bisa sampai. Tentara dapat menembakkan peluru kendalinya ke suatu sasaran secara tepat dari jarak ratusan kilometer. Semua ini sekarang mungkin terjadi berkat adanya sistem pemosisian global (GPS), teknologi berbasis satelit yang dapat menginformasikan suatu posisi di bumi, baik di darat, laut, maupun udara, secara akurat.
Paul E. Ceruzzi dalam buku GPS (2018) menetapkan empat hal yang menjadi konteks pengembangan GPS. Pertama, informasi posisi harus tersedia sepanjang waktu, terlepas dari kondisi cuaca atau faktor lain. Kedua, cakupan layanan harus dapat diakses dari mana pun di dunia. Ketiga, akurasi posisi perlu dipastikan dalam radius sekecil mungkin. Keempat, alat penerimanya harus kecil dan ringkas dengan kebutuhan listrik minimal.
Titik lokasi di bumi adalah soal ruang dan waktu tertentu. Ini karena bumi selalu berputar selama 24 jam pada sumbunya ke arah timur dengan kecepatan sekitar 464 meter per detik sehingga suatu titik di permukaan bumi sebenarnya selalu berubah. Kondisi ini menjadi tantangan utama dalam upaya penentuan koordinat suatu lokasi dan sudah tergambar dalam sejarah navigasi.
Dahulu kala, kapal-kapal berlayar dengan mengandalkan peta langit, yakni posisi rasi bintang pada waktu tertentu, dan kronometer, jam yang akurat. Namun kondisi cuaca sering kali menjadi hambatan. Misalnya, bintang di langit tak terlihat karena tertutup awan. Masalah ini terpecahkan setelah ditemukannya mikroprosesor, satelit, dan Internet pada 1970-an.
Internet pada mulanya adalah sistem berbagi informasi yang digunakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada pertengahan 1970-an untuk kepentingan militer. Peneliti di departemen itu lalu menghubungkan jaringan-jaringan komputer yang terpisah yang pada akhirnya melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai Internet.
Adapun pemanfaatan satelit dimulai ketika Uni Soviet mengorbitkan satelit Sputnik pada Oktober 1957 yang sebenarnya ditujukan untuk propaganda. Sputnik mengelilingi bumi dan mengirim gelombang radio yang dapat ditangkap radio amatir. Orbit satelit ini rendah dan dapat dilihat dengan mata telanjang.
Untuk menandingi Soviet, Amerika mengorbitkan beberapa satelit komunikasi Transit di awal 1959. Menurut Ceruzzi, satelit-satelit ini menciptakan semacam “sangkar burung” yang mengurung bumi, menjadi semacam peta bumi maya. Dengan menangkap sinyal radio dari transit, penerima di bumi dapat mengetahui posisinya secara relatif terhadap peta maya tersebut. Dengan cara ini, kapal selam, misalnya, dapat menentukan posisinya secara akurat tanpa perlu melihat peta langit.
Departemen Pertahanan Amerika lalu membentuk suatu tim yang bertugas mengembangkan arsitektur GPS pada 1973. Letnan Kolonel Angkatan Udara Bradford Parkinson memimpin tim ini dan pada 2016 ia mendapat penghargaan Marconi Prize atas kontribusinya dalam pengembangan GPS.
Pembangunan GPS adalah proyek raksasa yang melibatkan banyak pihak. Ceruzzi menyebut beberapa dari mereka, seperti Institut Nasional untuk Standar dan Teknologi yang mengembangkan jam atom dan standar frekuensi; Laboratorium Riset Angkatan Udara membangun arsitektur dasar GPS, satelit, dan orbit satelit; serta Badan Pemetaan Pertahanan membuat peta akurat.
GPS pada mulanya dikembangkan untuk memastikan sasaran militer secara presisi. “Jujur saja, Perang Dunia Kedua adalah sebuah parodi—untuk menghancurkan sebuah pabrik di Jerman kami mengorbankan banyak pesawat terbang dan menjatuhkan banyak bom. Kami menembak banyak sasaran yang kami tidak ingin tembak,” kata Bradford Parkinson, yang juga profesor emeritus di Universitas Stanford, kepada ITNOW edisi Juni 2019.
Tanggal 1 September 1983 merupakan momen penting dalam sejarah GPS. Pada hari itu, pesawat Korean Airlines ditembak jatuh oleh pesawat tempur Soviet. Pesawat yang sedang melintasi Alaska, Amerika Serikat menuju Seoul, Korea Selatan itu diduga telah menyimpang dari jalurnya dan memasuki wilayah udara Soviet. Hal ini mendorong Presiden Amerika Ronald Reagan membuka akses GPS bagi penerbangan sipil.
Masalah berikutnya adalah alat penerima sinyal GPS haruslah cukup ringkas. Pada fase awal alat penerima GPS sangat merepotkan. Alat itu lebih besar daripada kulkas dua pintu. Harganya pun mahal, sekitar US$ 5 juta pada 1970-an atau setara Rp 78,2 miliar sekarang. Ini jelas tidak praktis, apalagi bagi tentara di medan perang.
Hal ini terjadi karena komponen elektronik di dalamnya disusun pada papan-papan sirkuit yang terpisah. Para peneliti berupaya memperkecil ukurannya hingga menjadi mikroprosesor, sirkuit terintegrasi berbasis silikon dalam satu cip yang sangat kecil. Alat penerima GPS pun menjadi hanya sebesar genggaman tangan. Catherine Alexandrow, dalam artikel “The story of GPS” dalam buku DARPA: 50 Years of Bridging the Gap (2008), mencontohkan, alat penerima GPS bikinan Rockwell Collins, perusahaan teknologi informasi Amerika, hanya seberat setengah kilogram, menampilkan peta lengkap, memakai empat baterai, dan dapat bertahan selama hampir tujuh bulan.
Perkembangan alat penerima GPS semakin ringkas dan canggih setelah ditemukannya telepon seluler, yang kemudian menjadi telepon pintar. Ketika GPS menjadi komponen standar di telepon pintar, hal itu membuka berbagai kemungkinan pengembangan yang melampaui tujuan awal GPS. Telepon pintar atau alat navigasi mutakhir sekarang telah menyatukan GPS, Internet, dan data lain sehingga mampu digunakan untuk berbagai hal.
Penulis: Redaksi Mediakom