Home kesehatan 7 Pendekatan Kemenkes Deteksi Dini dan Perluas Layanan Tuberkulosis – Sehat Negeriku

7 Pendekatan Kemenkes Deteksi Dini dan Perluas Layanan Tuberkulosis – Sehat Negeriku

0

Jakarta, 23 Februari 2024

Kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah pada 2022 dan 2023. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022.

Deteksi TBC mirip dengan deteksi Covid-19, yaitu jika tidak diuji, tidak terdeteksi, dan tidak dilaporkan maka angkanya terlihat rendah sehingga terjadi under reporting, yang dapat menyebabkan pengidap TBC bertambah dan berpotensi menularkan karena tidak diobati.

“Sebelum pandemi, penemuan kasus TBC hanya mencapai 40-45% dari perkiraan kasus TBC sehingga masih banyak kasus yang belum ditemukan atau dilaporkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dr. Imran Pambudi di Jakarta, Senin (29/1/2024).

Jika lebih banyak kasus yang terdeteksi maka potensi kesembuhan bagi pengidap dapat meningkat dan penyebaran dapat ditekan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) dr. Imran Pambudi menjelaskan upaya peningkatan deteksi dini TB dan perluasan layanan TB yang berkualitas. Tujuannya, agar pengidap TB yang ditemukan dapat segera diobati sehingga peluang kesembuhan meningkat.

Kementerian Kesehatan melakukan pendekatan public-private mix (PPM). Pertama, melibatkan semua fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), baik pemerintah maupun swasta di 34 provinsi, khususnya di 19 provinsi prioritas PPM.

“Kegiatan melibatkan rumah sakit (RS), klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) dalam program TBC,” papar Imran dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (23/2/2024).

Kegiatannya mencakup advokasi dan pelatihan in-house, menyediakan akses laboratorium, seperti Tes Cepat Molekuler/TCM dan mikroskopis, serta logistik seperti obat melalui program Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Bahan Habis Pakai (BHP) kepada fasyankes.

“Selain itu, pemberian umpan balik, On the Job Training (OJT), dan monitoring secara berkala,” kata Imran.

Kedua, melibatkan jaringan rumah sakit swasta besar dalam program TB. Melibatkan enam jaringan RS swasta terbesar di Indonesia, yaitu MPKU PP Muhammadiyah, Hermina, Siloam, Pertamina Bina Medika IHC, Primaya, dan Mitra Keluarga, dengan total 256 rumah sakit.

“Tentu saja, jaringan rumah sakit swasta ini memiliki indikator kinerja yang mencakup peningkatan kasus TBC, akses diagnosis dengan TCM, akses obat/OAT untuk pasien TBC, keberhasilan pengobatan, dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam layanan TBC,” jelas Imran.

Selanjutnya, aktif dalam kegiatan skrining TB di rumah sakit, memberikan umpan balik per triwulan, serta melakukan monitoring dan evaluasi per semester untuk memantau pencapaian. Supervisi, OJT, dan bimbingan teknis juga dilakukan kepada jaringan rumah sakit swasta.

Ketiga, melibatkan jaringan rumah sakit dan klinik milik TNI dan POLRI dalam program TB. Jaringan ini meliputi 122 RS TNI dan 57 RS POLRI, serta 619 klinik TNI dan 598 klinik POLRI.

“Kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan peran fasyankes TNI-POLRI dalam skrining TBC. Pengiriman umpan balik per triwulan dan kegiatan monitoring untuk memantau kontribusi fasyankes TNI dan POLRI,” lanjut Imran.

“Supervisi, OJT, bimbingan teknis kepada RS dan klinik juga dilakukan di bawah naungan TNI dan POLRI.”

Pendekatan keempat, lanjut Imran, yaitu inovasi pembiayaan program TB di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Inovasi ini meliputi pemberian insentif non-kapitasi pada layanan TB bagi FKTP yang terlibat, termasuk fase diagnosis, pengobatan awal, dan pengobatan lanjutan.

“Inovasi ini diuji coba di 6 kota dengan estimasi beban kasus TBC besar, yaitu Kota Medan, Kota Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Semarang, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Uji coba dilakukan mulai Juli 2023 hingga Juni 2024,” katanya.

Kelima, pendekatan dalam bentuk Coaching TBC. Kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk tenaga kesehatan dalam program TBC di fasyankes.

“Tujuannya adalah untuk menciptakan layanan TBC yang berkualitas dan sesuai standar di fasilitas layanan kesehatan. Pada tahun 2023 sudah dilakukan di 28 kabupaten/kota, dan pada tahun 2024 diharapkan akan diekspansi ke 80 kabupaten/kota,” tambah Direktur P2PM Imran.

Keenam, memberikan Satuan Kredit Profesi (SKP) kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam layanan TBC di fasyankes. Kerjasama dilakukan dengan organisasi profesi dokter, perawat, apoteker, dan tenaga laboratorium.

Pendekatan ketujuh yang tak kalah penting adalah koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan lintas program Kementerian Kesehatan dan lintas lembaga untuk meningkatkan kualitas layanan TB di fasyankes. Koordinasi tersebut melibatkan:

– Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan terkait inklusi TB dalam proses penilaian akreditasi fasyankes.
– Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan skrining TB bagi faktor risiko tinggi yang ditemukan di FKTP.
– Asosiasi fasyankes, seperti Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) untuk memantau dan memberikan umpan balik terkait kontribusi RS dan klinik swasta dalam program TBC.
– Organisasi profesi yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) dalam berbagai kegiatan dan penyusunan pedoman/regulasi di tingkat nasional dan daerah.
– Inisiatif diskusi dengan penyedia layanan telemedicine seperti Halodoc untuk penemuan dan pengobatan pasien TBC sesuai standar.

Skrining Terhadap Populasi Berisiko
Dr. Imran menambahkan, Kementerian Kesehatan juga berupaya meningkatkan deteksi dini TBC melalui kegiatan Active Case Finding (ACF) dengan skrining menggunakan mobile chest X-ray terhadap populasi berisiko.

“Skrining dilakukan pada populasi kontak serumah dan kontak erat di 25 kabupaten/kota, serta pada warga binaan pemasyarakatan di 374 lapas, rutan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang tersebar di 291 kabupaten/kota di 34 Provinsi,” tambahnya.

Pengobatan TB Regimen Baru
Dalam hal pengobatan TB, Indonesia juga terus menjalankan hasil penelitian terkait pengobatan TB regimen baru yang lebih pendek.

“Lama pengobatan yang membosankan dan efek samping obat merupakan beberapa alasan pasien tidak patuh dalam menyelesaikan pengobatan TBC,” kata Imran.

Sejak pertengahan 2023, Indonesia telah secara programatis memulai pengobatan TB Resisten Obat (RO) dengan regimen baru, yaitu BPaL/BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, moksifloksasin) yang berdurasi 6 bulan.

“Regimen pengobatan sebelumnya, yang masih direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memerlukan waktu 9-24 bulan tergantung tingkat resistensi bakteri penyebab TB, Mycobacterium tuberculosis,” lanjut Imran.

“Regimen dengan durasi lebih pendek diharapkan dapat meningkatkan motivasi pasien untuk menyelesaikan pengobatannya.”

Indonesia juga mendukung penelitian operasional mengenai potensi regimen pengobatan yang lebih singkat untuk kasus Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO).

Jika TB RO memerlukan pendekatan pengobatan yang kompleks karena bakteri penyebab TB resisten terhadap obat tertentu, maka TB SO dapat diobati dengan regimen standar. Namun, durasi pengobatan untuk TB SO saat ini masih sekitar 6-9 bulan.

Kolaborasi Kementerian Kesehatan, WHO, dan USAID
Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan WHO, USAID, serta berbagai organisasi profesi dan komunitas untuk penanganan TBC.

“Kolaborasi ini untuk pengembangan petunjuk teknis penanganan Infeksi Laten TBC (ILTB) dan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Edukasi dan sosialisasi terkait TPT, melalui workshop secara luring maupun daring terhadap tenaga kesehatan,” jelas Imran.

“Pengembangan Strategi Komunikasi TPT, modul E-Learning TPT yang sudah dapat diakses melalui platform Plataran Sehat Kemenkes dan mengintegrasikan kegiatan pemberian TPT dengan kegiatan penemuan kasus secara aktif.”

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid

Source link

Exit mobile version