Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, namun ironisnya sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini disebut sebagai Paradoks Indonesia oleh Prabowo Subianto. Untuk memahami apakah pencapaian ekonomi Indonesia selama 30 tahun terakhir sudah baik atau belum, kita bisa membandingkannya dengan pencapaian negara lain seperti Tiongkok dan Singapura. Selama periode 30 tahun sejak 1985 hingga 2019, aktivitas ekonomi Tiongkok tumbuh 46 kali lipat, sementara aktivitas ekonomi Singapura tumbuh 19,5 kali lipat, dan aktivitas ekonomi Indonesia hanya tumbuh 13 kali lipat.
Tiongkok berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat karena menerapkan prinsip-prinsip state capitalism, di mana cabang produksi penting dan sumber daya alam dikuasai oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di Indonesia, walaupun prinsip ini sebenarnya terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan ekonomi cenderung lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar. Prabowo mengkritik bahwa ekonomi Indonesia saat ini terperangkap dalam sistem oligarki, di mana perekonomian negara dikuasai oleh segelintir orang super kaya.
Menurut Prabowo, keputusan politik yang diambil akan menentukan apakah rakyat Indonesia akan hidup dalam kemakmuran atau kemiskinan. Dia optimis bahwa dengan kepemimpinan yang bijaksana, Indonesia bisa keluar dari paradoks ekonominya saat ini. Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya pertumbuhan ekonomi dua digit agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap dan menjadi negara berpenghasilan atas.
Prabowo juga menekankan pentingnya belajar dari sejarah negara lain, seperti Tiongkok, yang berhasil keluar dari kebijakan ekonomi keliru dan mencapai kebangkitan ekonomi. Ia menyatakan bahwa tugas kita saat ini adalah untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.