15.5 C
New York

Pencegahan Jadi Upaya Sentral Percepatan Penurunan Stunting – Sehat Negeriku

Published:

Jakarta, 19 Maret 2024

Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,5%. Persentase tersebut menunjukkan penurunan sebesar 0,1% dari tahun sebelumnya. Hasil Survei Status Gizi Indonesia 2022 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6%

“Walaupun penurunan hanya sebesar 0,1% dalam setahun ini, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia berhasil menurunkan prevalensi stunting sebanyak 16,1%,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Prof Dante Saksono Harbuwono.

Wamenkes Dante menyampaikan hasil SKI 2023, khususnya tentang stunting balita, kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Kantor Wakil Presiden Jakarta, pada Selasa (19/3/2024).

Pada 2023, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaksanakan Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Survei yang dilakukan lima tahunan ini sebelumnya dikenal dengan Riset Kesehatan Dasar.

SKI 2023 dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan melibatkan berbagai lembaga di tingkat pusat, termasuk BPS, serta di tingkat daerah, seperti dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Saat ini, data SKI 2023 telah selesai diolah dan hasilnya menggambarkan capaian status kesehatan masyarakat Indonesia serta faktor risikonya. Salah satu data yang dihasilkan adalah stunting.

Stunting pada balita merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar.

Lebih lanjut, Dante menjelaskan, untuk memastikan keakuratan data, telah dilakukan validasi berupa pengukuran ulang terhadap balita di 19 provinsi dan 57 kabupaten/kota, baik yang mengalami kenaikan maupun penurunan angka stunting lebih dari 10%.

“Hasil SKI telah melalui proses yang ketat, termasuk verifikasi ulang ke lapangan. Hasil pengukuran ini selanjutnya ditinjau kembali oleh tim manajemen data untuk memastikan tidak terjadinya kesalahan input,” jelas Wamenkes Dante.

Prevalensi stunting bervariasi antarprovinsi. Sepuluh provinsi dengan prevalensi stunting terendah adalah Sumatera Utara, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Riau, Jambi, dan Bali.

Di sisi lain, terdapat lima provinsi yang menyumbang 51% balita stunting, yaitu sekitar 2,4 juta balita dari total balita stunting di Indonesia. Lima provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara. Namun, hal ini disebabkan jumlah balita di lima provinsi itu lebih banyak daripada provinsi lainnya.

Pada kesempatan ini, Wamenkes Dante menerangkan terjadinya stunting disebabkan berbagai faktor dan proses yang panjang. Kondisi ibu saat hamil, bahkan sebelum kehamilan, sangat menentukan. Pada masa prenatal, ibu hamil dapat mengalami risiko kekurangan energi kronis, anemia, atau infeksi penyakit.

“Selanjutnya pada masa kelahiran, hal-hal yang berpengaruh adalah proses persalinan ibu dan proses inisiasi menyusui dini pada bayi. Pada periode persalinan, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi, yaitu penyakit infeksi yang dapat menyerang ibu dan bayi,” terang Wamenkes Dante.

Setelah bayi lahir, faktor seperti pemberian ASI eksklusif, konsumsi makanan pendamping ASI, keragaman makanan yang dikonsumsi, dan pemantauan tumbuh kembang bayi juga berperan terhadap terjadinya stunting.

Selain faktor pada ibu dan bayi, faktor rumah tangga juga mempengaruhi terjadinya stunting pada balita. Faktor rumah tangga mencakup akses air minum yang bersih, sanitasi dan higiene dasar, serta kelayakan rumah tinggal.

Wamenkes Dante juga menyampaikan pandemi COVID-19 mempengaruhi stunting di Indonesia. Pada 2020-2022 terjadi pandemi COVID-19 yang menyebabkan disrupsi pada berbagai aspek kehidupan. Ini termasuk ketahanan pangan, ketersediaan pelayanan kehamilan di fasilitas kesehatan, dan kondisi lingkungan, yang dapat menjadi faktor determinan terjadinya stunting.

Menurut Wamenkes Dante, upaya menurunkan prevalensi stunting harus lebih fokus pada pencegahan terjadinya stunting daripada penanganan anak yang sudah stunting. Pencegahan stunting lebih efektif dan efisien daripada penanganan anak yang sudah stunting. Pencegahan stunting ini membutuhkan komitmen yang kuat semua sektor pemerintah pusat dan daerah serta kerja sama berbagai pihak, termasuk swasta dan masyarakat.

Pemerintah telah melakukan upaya intervensi sensitif dan spesifik dalam pencegahan dan penurunan stunting. Intervensi sensitif adalah intervensi yang dilakukan di luar sektor kesehatan, sedangkan intervensi spesifik menjadi tanggung jawab sektor kesehatan.

Intervensi spesifik dilakukan dengan sasaran remaja, ibu hamil, dan balita. Pada remaja putri, Kemenkes melakukan skrining anemia dan pemberian tablet tambah darah. Pada ibu hamil, Kemenkes menerapkan program pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah ibu hamil, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis.

Sementara itu, intervensi spesifik dengan sasaran balita difokuskan untuk baduta, yakni bayi berusia di bawah dua tahun. Pada masa baduta, Kemenkes melakukan penerapan program ASI eksklusif, makanan pendamping ASI kaya protein hewani, imunisasi, serta penanganan balita dengan masalah gizi.

Selain program-program ini, Kemenkes terus melengkapi sarana dan prasarana di fasilitas layanan kesehatan. Saat ini, semua puskesmas sudah memiliki USG dan dokter yang dilatih untuk menggunakannya.

Semua posyandu juga memiliki alat antropometri terstandar yang dibarengi dengan peningkatan kapasitas kader yang terus diperluas. Alat antropometri merupakan rangkaian alat yang berfungsi untuk mendeteksi stunting pada anak melalui pengukuran berat badan, panjang dan tinggi badan serta lingkar lengan atas dan kepala.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected]

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid

Source link

Related articles

Recent articles