Kasus pembatalan hasil putaran pertama Pilpres Rumania oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini mengirimkan pesan penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengevaluasi kembali keamanan proses demokrasi di tengah kemajuan digital yang pesat.
Pengalaman pahit Rumania mengungkapkan bahwa ancaman siber yang berskala nasional bukan sekadar persoalan teknis, melainkan telah menjadi strategi geopolitik asing untuk mengguncang fondasi demokrasi sebuah negara. Sorotan dunia kini tertuju pada bagaimana aktor-aktor berbasis negara mampu menggunakan teknologi sebagai senjata untuk merusak legitimasi institusi demokrasi.
Bukti dari lembaga intelijen Rumania menyoroti bahwa keberhasilan serangan ini adalah hasil dari kombinasi dua taktik utama: serangan langsung terhadap jaringan teknologi pemilu dan penyebaran disinformasi di ruang digital. Fenomena semacam ini kini dikenal luas sebagai serangan hibrida, yang menyasar tidak hanya perangkat keras, tetapi juga kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan.
Bukannya tanpa alasan, Badan Intelijen Rumania (SRI) merinci bahwa puluhan ribu serangan siber menargetkan titik-titik vital yang menopang sistem elektoral nasional saat menjelang dan pada hari pemungutan suara. Infrastruktur teknologi yang biasanya menjadi tulang punggung keandalan pemilu kini menjadi titik rawan yang bisa diakses oleh pelaku berkepentingan, dengan tujuan memanipulasi bahkan menggagalkan pemilihan. Kompleksitas dan intensitas serangan, beserta jejak digital yang terpantau, memperlihatkan adanya dukungan logistik dan koordinasi yang melampaui kapasitas kelompok kriminal biasa—indikasi kuat keterlibatan kekuatan negara asing.
Selanjutnya, proses demokrasi digoyang oleh kampanye masif disinformasi yang menyasar opini pemilih melalui platform digital populer. Laporan intelijen mengaitkan kampanye hitam yang terjadi di Rumania dengan upaya terorganisasi dari pihak luar, khususnya Rusia. Penggunaan media sosial dan jalur komunikasi daring lain secara strategis telah terbukti mempengaruhi persepsi masyarakat serta mengangkat kandidat tertentu ke puncak suara meski dengan cara-cara yang melanggar etika dan hukum pemilu. Temuan tentang dana asing untuk membiayai influencer serta penciptaan narasi palsu mengukuhkan bahwa campur tangan asing tidak lagi kasat mata, melainkan memanfaatkan celah hukum global.
Mahkamah Konstitusi Rumania akhirnya memutuskan bahwa tindakan ini bukan saja merusak integritas hasil pemilu, melainkan telah melanggar asas-asas dasar demokrasi dan hukum negara. Putusan tersebut menjadi landasan kuat untuk mendiskualifikasi hasil pemilu dan mengulang proses secara menyeluruh demi mengembalikan otoritas kedaulatan rakyat.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang tengah menghadapi gelombang digitalisasi juga berhadapan dengan tantangan serupa. Transformasi ancaman siber, dari sekadar aksi kriminal menjadi instrumen yang menargetkan kedaulatan dan stabilitas nasional, menuntut upaya kolaboratif lintas lembaga dan peningkatan kesiapsiagaan negara. Pengalaman Rumania jelas membuktikan bahwa upaya peretasan sistem Komisi Pemilihan Umum atau infrastruktur digital vital lainnya dapat menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat dan bahkan menciptakan gejolak politik.
Selain itu, kekuatan disinformasi yang didukung sumber daya dan teknologi canggih memberi peluang besar bagi aktor asing untuk menyusupkan narasi perpecahan, memperuncing polarisasi, dan mengancam kohesi sosial bangsa. Bukan hanya melalui manipulasi teknis, namun juga dengan menyebarkan propaganda yang mampu menembus ruang-ruang diskusi publik secara halus namun destruktif. Jika tidak diwaspadai, intervensi ini akan mengancam kemampuan Indonesia untuk mempertahankan hak menentukan arah bangsa secara mandiri.
Langkah pencegahan dan respons tak bisa lagi sekadar bertumpu pada penegakan hukum oleh satuan kepolisian atau badan siber saja. Keterlibatan lintas institusi, seperti BSSN, Kominfo, TNI, hingga organisasi masyarakat sipil, sangat diperlukan untuk membangun ketahanan siber nasional dari hulu ke hilir. Investasi besar pada sistem pengawasan, teknologi deteksi pelaku, serta program literasi digital masyarakat harus segera dipacu agar tidak tertinggal dari laju inovasi aksi kejahatan digital global.
Kasus yang menimpa Rumania sepatutnya menjadi pelajaran kolektif dan peringatan dini bahwa demokrasi di era digital sangat rentan digoyang. Pertahanan di ruang siber bukan hanya urusan teknis, melainkan terkait langsung dengan martabat dan masa depan negara. Masyarakat Indonesia harus terus waspada dan pemerintah tidak boleh lengah dalam mengembangkan strategi efektif guna melindungi setiap proses demokrasi dari gangguan invasi siber, baik berupa sabotase teknis maupun manipulasi narasi.
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Serangan Hibrida, Disinformasi Digital, Dan Ancaman Terhadap Demokrasi Indonesia
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Ketika Demokrasi Di Indonesia Terancam
