Kapitalisasi dalam sektor pertanian sering dianggap sebagai cara cepat untuk mengembangkan pertanian di Indonesia. Dari investasi modal besar hingga penggunaan teknologi industri 4.0, pendekatan ini telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah ini benar-benar solusi yang efektif untuk mendorong pertanian di Nusantara atau justru akan menyebabkan ketidakadilan dan kerentanan baru bagi petani kecil.
Dalam praktiknya, kapitalisasi pertanian dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor tersebut. Namun, implementasi kapitalisasi yang berkelanjutan dan adil diperlukan untuk memberikan manfaat maksimal bagi pertanian Indonesia. Meskipun sektor perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan tebu telah mengalami kapitalisasi, sektor hortikultura masih tertinggal dalam hal tersebut.
Kapitalisasi di sektor hortikultura dapat membawa manfaat signifikan dalam hal pembangunan infrastruktur, penggunaan teknologi modern, dan peningkatan nilai tambah produk. Namun, tantangannya adalah bagaimana menerapkan kapitalisasi ini tanpa meninggalkan petani kecil dan menciptakan ketimpangan dalam akses sumber daya.
Diperlukan pendekatan yang bijak dalam menerapkan kapitalisasi, dengan memperhatikan keberpihakan, reformasi struktural, dan prinsip-prinsip pembangunan inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat posisi petani, meningkatkan kapasitas lokal, serta menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kondisi pertanian di Indonesia. Dengan demikian, kapitalisasi dapat menjadi alat yang efektif untuk mengembangkan pertanian Nusantara, sebagai ruang hidup yang perlu dibangun dengan kesabaran, keberpihakan, dan visi jangka panjang.
