loading…
Penetapan Resale Price Maintenance (RPM) terhadap sebuah produk merupakan praktik yang biasa dalam persaingan usaha. Foto: Dok SINDOnews
“Semuanya produk kalau harganya ditetapkan kembali atau RPM itu sebetulnya praktik yang biasa saja. Pasti kan ada alasannya produsen melakukan hal itu. Ada the rule of reason, tidak absolut,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), belum lama ini.
Melansir Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli disebutkan tidak boleh menetapkan harga jual kembali. Tapi, secara ekonomi bisnis penetapan RTM itu bukan absolutely tindakan antipersaingan usaha.
“Jadi, kalau undang-undangnya jelas melarang. Tapi, kalau secara ekonomi bisa membuktikan sebaliknya, apalagi pendekatan kita ada di rule of reason dan itu bisa dibuktikan, RPM itu sah-sah saja untuk dilakukan,” katanya.
Dia mempertanyakan bila harga uang ditetapkan tidak ada konteks negatifnya. Sebab, hal itu biasa untuk penetapan harga.
Terlebih hubungan antara produsen dan para resellernya itu vertikal yang terafiliasi antara produsen sama yang mendistribusikan produk ataupun resellernya dan bukan horizontal atau sesama pesaing.
“Ada hubungan hukum, ada kontrak, ada perjanjian. Sebab, kalau direseller dan distributornya menjual seenaknya saja ya dia bisa dihantam oleh pesaingnya secara horizontal. Kan dia mesti jaga juga itu,” ujar Ningrum.
Karenanya tidak heran penetapan harga itu menjadi sensitif. Terlebih bila berkaca dari hubungan apakah reseller dengan produsennya satu keluarga atau tidak.
Artinya, dari atas ke bawah ada hubungan terafiliasinya. Termasuk saingan yang mempengaruhi adanya perbedaan harga.
Berkaca dari Amerika, penetapan harga jual kembali itu awalnya memang sangat sensitif dan dilarang total. Barulah pada 2007 lalu, Mahkamah Agung Amerika menemukan adanya error selama ini dan dalam keputusannya berubah total.