22.9 C
New York

Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

Published:

Trauma bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase tersebut. Seorang wanita muda, Palupi Budi Aristya, atau Upi (21 tahun) baru-baru ini telah merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menakutkan baginya lebih dari orang-orang lain. Ingatan masa kecil tentang peristiwa besar pada tahun 2010, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya. Upi dan keluarganya harus mengungsi dan menyelamatkan diri dalam suasana panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern. Upi kini tinggal di rumah baru di wilayah Cangkringan, sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma? “Rasa paniknya ada. Takut itu juga masih ada, namun hanya normal panik ketika ada letusan lagi,” ucap Upi.

Amukan Merapi pada 2010 menyebabkan kerusakan yang masif. Muntahan lava pijar meruntuhkan desa-desa di selatan lereng, di sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Di sinilah rumah Upi berada, hancur dan tertutup abu. Setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu pun kembali menghantui. Namun, Upi adalah contoh yang tepat sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi yang disebabkan oleh kejadian luar biasa seperti letusan gunung berapi.

Lain ceritanya dengan Aris (27 tahun), penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Pemilik nama lengkap Muhammad Arista Ramadhani ini memiliki pengalaman yang jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris masih kanak-kanak. Ingatan tentang bagaimana ia dan keluarga harus berlari ke puncak bukit dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami sangat jelas baginya. Aris dan seluruh keluarganya selamat, tetapi rumah mereka rata karena terkena gelombang. Ketakutan akan gelap, menurut Aris, selain berkorelasi dengan peristiwa gempa dan tsunami, juga turut dibentuk oleh pengalaman hidup dekat dengan wilayah konflik Gerakan Aceh Merdeka. Sedangkan ketakutan akan laut, sepenuhnya dibentuk oleh pengalaman menyaksikan tsunami tahun 2004. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Aris keluar dari fase traumatik itu. Pendampingan psikologis membantunya mengalahkan ketakutannya akan gelap dan ombak. Kini, ia mengaku sudah kembali berdamai dengan laut dan mampu berkegiatan diving dan snorkeling. Hanya, masih ada satu gejala traumatik yang belum hilang, yaitu takut akan ketinggian.

“Takut itu masih ada, tetapi kami bersyukur bahwa kami masih bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal,” ucap Aris. Trauma, penyingkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. Kebanyakan penyintas, berkat resiliensi yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana. Dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal. Praktisi Psikologi Kebencanaan, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Wahyu Cahyono, menjelaskan bahwa dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal. Wajar jika korban dalam periode awal setelah bencana merasa linglung, panik, ataupun terlihat murung, karena itulah dampak dari pengalaman luar biasa yang dialami. Orang yang normal akan merasakan kesedihan yang besar dalam keadaan seperti ini. Pada tahap tersebut, korban memerlukan dukungan psikologis yang dapat berasal dari dalam komunitas atau dari pihak eksternal seperti para relawan yang membantu di lokasi bencana.

Dukungan psikologis awal ini sangat penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri. Salah satu bentuk dukungan psikososial biasanya dilakukan oleh relawan yang membantu para korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Bukti nyata dukungan ini adalah cerita Upi dan Aris yang merasa terbantu atas dukungan psikologis yang mereka terima sebagai anak-anak. Menurut Wahyu Cahyono, relawan dalam pendampingan psikologis ini sebenarnya sudah menerima pembekalan khusus terkait kegiatan tersebut. Mereka membantu pasca bencana dengan berbagai kegiatan seperti bermain, melakukan kegiatan yang menyenangkan, dan memberikan pengetahuan tentang bencana serta nilai-nilai sosial. Hal ini membantu korban mengatasi kondisi psikologis mereka dan pulih dari dampak bencana.

Relawan juga turut membantu dalam sektor lain seperti memberikan bantuan materi dan sebagai wadah bagi korban untuk mengungkapkan perasan mereka. Ini membantu korban untuk mengelola trauma akibat bencana, sehingga dapat beradaptasi kembali dengan kehidupan secara normal.

Source link

Related articles

Recent articles